Kamis, 29 Desember 2011

sosiolinguistik




TINJAUAN PUSTAKA
Sosiolinguistik
Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur  bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Sosiolingistik lazim didefenisikan sebagai ilmu yang  mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan diantara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana,1978:94),
Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik.
Berdasarkan teori Platt dalam (Siregar dkk 1998:54) berpendapat bahwa dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa didalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan dan latar sosial ekonomi.
Sedangkan Nababan (1994:2) mengatakan bahwa pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut sosiolinguistik. Sosiolinguistik memfokuskan penelitian pada variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik menelitikorelasi antara faktor- faktor sosial itu dengan variasi bahasa.

Berdasarkan pengertian menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi, hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa.

Selanjutnya ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu:
(1) identitas sosial dari penutur,
(2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi,
(3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi
(4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial,
(5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran,
(6) tingkatan variasi dan ragam linguistik,
(7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

(Chaer,2004:5). Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilih kode dalam bertutur. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluargamdi dalam sebuah rumah tangga, di perpustakaan, di perkuliahan, di pinggir jalan hingga di lingkungan para waria. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara yang tidak keras, sedangkan dilingkungan para waria berbicara dalam mengunakan bahasa dalam kelompok tertentu dengan bahasa yang sering mereka gunakan, seperti ragam bahasa gaul. Tingkatan variasi dan ragam linguistik, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi sosialnya masing- masing.
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengindentifikasi diri (Chaer, 2004:1). Hal ini memberi gambaran bahwa bahasa adalah berupa bunyi yang digunakan oleh rnasyarakat untuk berkornunikasi. Keraf
(1991:1) mengatakan bahwa bahasa mencakup dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa arus bunyi, yang mempunyai makna. Menerangkan
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat terdiri atas dua
bagian utama yaitu bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Sapir (1921) dalam Sibarani (2004:36) mengatakan bahwa bahasa adalah metode atau alat penyampaian ide, perasaan, dan keinginan yang sungguh manusiawi dan noninstingtif dengan mempergunakan sistem simbol- simbol yang dihasilkan dengan sengaja dan sukarela. Sedangkan menurut Sibarani (2004:37) Bahasa adalah bahasa sebagai system tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat.
Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau system lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat untuk mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa yang terdapat dalam kata yang diucapkan. Indonesia adalah Negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka pengunaan bahasa Indonesia juga beragam.
Apabila beberapa orang berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami, pertamayang terdengar adalah berbagai bunyi dan berselang- seling dan rumit sekali. Ketika ingin semakin akrab dengan bahasa itu bunyi yang berselang- seling tadi berubah menjadi bunyi yang dapat dibedakan. Tiap bahasa memiliki aturan-aturan sendiri yang menguasai bunyi- bunyi dan urutan- urutannya, kata dan bentukan- bentuknya, kalimat dan susunannya.
Indonesia adalah Negara yang multilingual. Selain bahasa Indonesia yang
digunakan secara nasional, terdapat pula ratusan bahasa daerah , besar maupun kecil, yang digunakan oleh para anggota masyarakat bahasa daerah itu untuk keperluan yang bersifat kedaerahan, tetapi di samping itu banyak pula yang hanya menguasai satu bahasa, namun ada pula yang menguasai dwi bahasa (bilingual) atau lebih dari dua bahasa (multi lingual). Sebagai sebuah subjek kajian bahasa gaul merupakan suatu fenomena penciptaan bahasa yang berbeda namun berlaku dikalangan pengguna bahasa karena seperti yang kita ketahui bahwa bahasa memiliki salah satu sifat yang arbitrer bisa diartikan sewenang-wenang, berubah ubah, tidak tetap, dan mana suka. Keraf (1991 :16) menyatakan bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dalam praktek kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari simbol dan alat komunikasi. Bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi serta penyampaiannya segala sesuatu dalam bentuk lisan kepada sesama manusia. Dalam pergaulan sehari- hari di berbagai kalangan mengakui adanya pluralitas orientasi seksual dikenal adanya penggunaan bahasa gaul di sekelompok waria yang secara budaya dan pengucapan menunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa yang monoton dan tidak berkembang. Berbicara mengenai bahasa tidak hanya membicarakan satu jenis bahasa, tentu banyak pula ragamnya yang berdasarkan konteks situasi dimana mereka menggunakan bahasa yang mereka anggap sebagai alat komunikasi yang seringdigunakan dalam kelompok mareka, salah satu bahasa yang digunakan ialah ragam bahasa gaul pada kalangan waria. Ragam bahasa yang disikapi dalam pengertian ini adalah fenomena bahasa pada kalangan waria. Dalam hal ini ragam bahasa yang digunakan seseorang dalam situasi non formal pada orang yang sama akan menukar bahasa tertentu, umpamanya membicarakan masalah adat di daerahnya, maka akan disesuaikan dengan bahan dan bahasa yang tepat. Begitu pula tentang bahasa pada kalangan waria yang ada di jalan Gajah Mada Medan.

A.     Konteks dan Situasi
Menurut Poerwadarminta(2008:156) pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
atau menambah kejelasan makna. Istilah konteks dan situasi sering digunakan untuk
menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami
masalah arti bahasa. Walau kata konteks dan situasi sering diiringi penggunaannya,
sebaliknya diadakan juga perbedaan antara kedua kata itu. Kata- kata pada satu bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteks nya.
Fishmam (dalam Tarigan, 3:1988) beserta pakar sosiolinguistik lainnya sangat yakin bahwa maksud dan tujuan penggunaan satu atau dua bahasa sangat beraneka ragam dan barbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya dari orang ke orang bergantung pada topik, penyimak dan konteks. Berdasarkan penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta bagaimana situasi keformalannya. Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Bahsa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara.
Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada penggunaan bahasa dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persurat kabaran), kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pengungkapan dapat berupa sarana atau cara penggunaan bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.
Penggunaan ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi penggunanya. Hal ini mengindifikasikan bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana
komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keaneka
ragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat
diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang, bahasa yang digunakan memperlihatkan perbedaan.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa
termasuk bahasa gaul di kalangan waria menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing, menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.

B.     Ragam Bahasa
Manusia merupakan mahluk sosial, manusia melakukan interaksi, bekerjasama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas
diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok social tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan beragam. Keragaman bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam. Dalam ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. ragam bahasa juga dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pengguna, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan penggunaan ragam
bahasa (Pateda dalam Chaer 1987: 52).  Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa beragam, yang dimaksud dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik seperti di jalan, di Mall, hingga di lingkungan para waria.
Dari segi penggunaannya, bahasa dapat menimbulkan keberagaman juga, istilah penggunaan di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Sedangkan ragam bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang digunakan dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kestandartan ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman. Ragam bahasa gaul ditinjau dari ilmu folklore adalah salah satu bentuk (genre) foklor yang disebut ”ujaran rakyat” (folk speech). Slang ini dapat berupa satu kalimat, tetapi dapat juga terdiri sebuah kata yang tidak lazim di dalam bahasa nasional Indonesia yang resmi.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi digunakan oleh kaum remaja, serta waria atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, digunakan oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya. Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim digunakan di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya dipertegas lagi kedalam bentuk. Slang ini selanjutnya dapat dipertegas lagi ke dalam bentuk cant, yaitu bahasa gaul yang diucapkan dengan nada atau intonasi tertentu sehingga terasa ringan, lucu, dan ekspresif cocok untuk suasana santai yang bersifat rahasia. Sedangkan cant yang khusus dipergunakan oleh para penjahat atau preman dikenal dengan istilah Argot menurut Kridalaksana (1982:14) bahasa dan perbendaharaan kata suatu kelompok orang, seperti bahasa pencopet. Sedangkan menurut Chear (1995:80) Argot adalah variasi social yang digunakan secara terbatas pada profesi- profesi tertentu dan bersifat rahasia. Kelompok yang dimaksud disini adalah kelompok orang muda (orang yang merasa dirinya muda), maka yang sesuai dengan penelitian adalah bahasa Cant yang berfungsi sebagai bahasa dari sekelompok orang atau kalangan tertentu terutama pada kelompok remaja dan waria. Pada tahun 1940-an cant tersebut
berbentuk penggantian suku kata (syllable) terakhir dari suatu kata dari suatu kata dengan ”se”. Sebagai contoh kata genis menjadi gense. Namun pada tahun 1980-an para pemuda usia ini mengambil alih bahasa prokem yang berasal dari para penjahat atau preman di Jakarta. Jadi ujaran rakyat kelompok usia muda sejak itu telah mengubah slang nya dari sifat cant menjadi argot. Bahasa prokem ini kemudian telah berhasil menjadikan dirinya menjadi bahasa lisan dari orang Indonesia pada umumnya di daerah perkotaan.
Bahasa pada kalangan homoseksual (gay dan lesbian) sangat menarik karena para homoseksual menciptakan cant tersendiri untuk kelompoknya. Bahasa para gay dan lesbian ini juga tidak langgeng, karena pada beberapa tahun ini telah timbul jenis cant gay yang lain lagi, yang mereka namakan bahasa gaul. Bahasa gaul saat ini semakin ngetop dan ngetrend, sehingga diambil alih juga oleh para remaja dan orang muda dari kalangan pengusaha, artis, film sinetron, mahasiswa dan lain- lain. Bahasa para gay dan lesbian ini pada beberapa tahun yang lalu, adalah cant dengan cara menyisipkan suku kata ”in”, seperti untuk banci menjadi binancini, sedangakan untuk istilah bule menjadi binuline, dan sebagainya. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari, kalagan yang mengakui adanya prularitas orientasi seksual dikenal adanya pengguaan bahasa gaul yang secara budaya dan pengucapan mempertunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa yang membosankan, tanpa daya pikir, anti-kenikmatan dan mentabukan seksual. Sebaliknya mereka aktif menciptakan keragaman, merangsang gairah- gairah (pengucapan) oral mereka selalu aktif menciptakan dan menciptakan literatur yang lebih terbuka pada kesenangan para gay dan lesbian.
Secara permukaan dimarjinalkan, masyarakat secara aktif mengagungkan satu orientasi seksual yang sakral mengadopsinya dalam bahasa keseharian mereka (contoh: ”bencong”) di bawah ini adalah penjelasan singkat bagaimana kreativitas bahasa itu diekspresikan dalam keberagaman, yang disebut bentuk bahasa ”binan” waria. Bahasa gaul khusus yang diciptakan para waria khususnys di jalan Gajah Mada Medan dalam berkomunikasi sesama kelompok termasuk kedalam gejala bahasa.

C.     Gejala Bahasa
Menurut Badudu (1985:47) gejala bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentuk kata atau kalimat dengan secara macam proses pembentukannya. Beberapa gejala bahasa yang digunakan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul khusus adalah penghilangan fonem, penambahan fonem dan metatesis dapat dilihat sebagai berikut:
1. Penghilangan Fonem
Gejala penghilangan fonem bahasa gaul khusus tidak banyak ditemukan, karena bahasa gaul khusus lebih banyak penambahan.
2. Penambahan Fonem
Gejala penanbahan fonem banyak ditemukan dalam proses pembentukan kata dalam bahasa gaul khusus. Gejala penambahan fonem terjadi gejala bahasa yang menyimpang. sebagai contoh yaitu:
a.      Tambahan awalan ko.
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi jadi okem. Contoh dalam bentuk kata: — mati — komat — (ko + mat) = mokat — bisa— kobis — (ko + bis) = bokis — beli — kobel — (ko + bel) = bokel
b.      Tambah awalan si
Awalan si biasanya digunakan oleh waria di Jawa Timur. Cara penggunaannya dengan menambahkan kata si pada setiap kata yang digunakan dengan terlebih dahulu memenggal suku kata pertama dari suku kata belakang, sehingga menghasilkan bunyi baru. Syaratnya setiap kata modifikasi tesebut harus berakhir dengan huruf konsonan. Contoh dalam bentuk kata: — wedhok (Jawa. perempuan) = siwed (si + wed) — pergi = siper (si+ per) — makan = simak (si + mak) c. Tambahan akhiran ong Penambahan akhiran ong adalah modifikasi sederhana lain yang sering juga digunakan. Penggunaannya dengan menyelesaikan/ mengasimilasi setiap suku kata terakhir dalam bahasa keseharian dengan bunyi ong dan setiap huruf vokal suku kata pertama menjadi bunyi e.
Contoh dalam bentuk kata: — homo — hemong (ho + mo = -he + mong) — laki— lekong (le + ki = -le + kong) d. Tambahan sisipan “in” Di banding dengan modifikasi regular lainnya , sisipan “in” sedikit lebih sulit dalam penerapannya. Setiap modifikasi sisipan “in” setiap suku kata dibagi diasimilasikan dengan dengan sisipan bunyi “in”. Contoh dalam bentuk kata: — Lesbi — lines bini (les + bi = -lines + bini) — homo— hino mino (ho + mo = -hino + mino)
3. Metatesis
Menurut Badudu (1985:64) gejala metatesis adalah gejala yang memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tips

jadilah orang yang berguna sejak semuda mungkin, karna orang yang malas waktu mudanya akan dipaksa bekerja keras diwaktu tuanya